Mau jadi apa?
Pertanyaan yang sungguh sering kita dengar, dan sulit dijawab. “Mau jadi apa?” Entrepreneur, pekerja, buruh, pegawai, karyawan, mitra, wiraswasta, freelancer, tenaga ahli? Apa sih bedanya? Gimana kerangka hukumnya? Aku sendiri apa?
Daftar isi
- Buruh, pegawai, karyawan, pekerja
- Entrepreneur, wirausaha, pengusaha
- Freelancer (pekerja lepas)
- Mitra
- Kerangka & perlindungan hukum
- Omnibus Law alias RUU Cilaka
Buruh, pegawai, karyawan, pekerja
Dalam budaya Indonesia, istilah “buruh” dikonotasikan sebagai “pekerja rendahan”. Stigma buruk pada buruh erat kaitannya dengan upaya Orba memberangus gerakan buruh dan menghapus istilah “buruh” dengan “karyawan”.
Istilah karyawan sendiri baru populer di zaman Orba–jejaknya terlihat dari partai politik kendaraannya, Golongan Karya. Istilah karyawan digunakan dan dilazimkan pemerintah untuk mengganti kata buruh yang bermuatan politis dan identik dengan gerakan kiri, dan memecah belah pekerja.
Karena konteks budaya dan sejarah ini, banyak pekerja merasa enggan disebut buruh. Namun pada akhirnya, buruh, pegawai, karyawan, pekerja pada dasarnya sama: sama-sama menukar tenaga, kemampuan, dan waktunya kepada Pemberi Kerja, bos, majikan, atau klien. Dalam kerangka hukum Indonesia pun, hak dan kewajibannya sama-sama diatur sebagai pekerja dalam UU Ketenagakerjaan. Karena itu, yang perlu kamu cermati dalam projek atau pekerjaan baru, adalah perjanjian atau kontrak kerjanya.
Entrepreneur, wirausaha, pengusaha
Istilah entrepreneur kini makin banyak kita dengar di Indonesia, tak jarang disandingkan dengan istilah lain seperti creativepreneur, social entrepreneur, technopreneur, ecopreneur, dan sebagainya- preneur.
Namun apa itu entrepeneur? Bisakah kita memasukkan profesi entrepreneur dalam KTP, formulir pajak, atau kartu sensus penduduk? Pajak dan hukum apa yang berlaku pada seorang entrepreneur? Apakah seorang entrepreneur otomatis adalah bos bagi dirinya sendiri? Bagaimana jika dia seorang desainer freelance yang bekerja untuk banyak bos–apakah dia juga seorang entrepreneur?
Ada banyak program marketing, self-help, atau promosi pendidikan yang mengatakan entrepreneur itu pengusaha yang selalu kreatif berinovasi, mencari solusi dan pemecahan masalah. Tapi apakah karakter seperti itu tidak ada pada pekerja ataupun pengusaha yang tidak mendaku sebagai entrepreneur? Bisakah kita mengatakan penjual warung tidak kreatif berinovasi, mencari solusi untuk menyambung hidup mereka?
Jika kita mencari definisi entrepreneur, bisa dipastikan kita akan menemukan puluhan definisi yang berbeda. Di Indonesia sendiri, istilah ini baru banyak digunakan setelah memasuki abad ke-21, seiring dengan makin derasnya narasi mengenai entrepreneurship dan Silicon Valley.
Meski ada makin banyak industri pendidikan dan pemasaran yang memasukkan entrepreneurship dalam programnya, istilah entrepreneur sebetulnya belum diakui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Secara hukum pun tidak/belum ada. Pada umumnya entrepreneur diterjemahan menjadi wirausaha/wiraswasta, dan entrepreneurship kewirausahaan. Pemerintah sendiri saat ini sedang mempersiapkan Rancangan Undang-undang Kewirausahaan, tapi masih belum disahkan.
Karena itu, istilah entrepreneur bisa mencakup usaha wiraswasta (self-employed), bisnis satu orang, dan bahkan freelancer. Namun kerangka dan perlindungan hukumnya bisa berbeda-beda, tergantung apakah kamu pemberi kerja atau penerima kerja alias pekerja. Nah, pastikan kamu sadar hak-hak dan kewajibanmu, apakah sebagai pekerja ataupun pemberi kerja. Lihat hak normatif.
Freelancer (pekerja lepas)
Akar istilah freelance pertama kali digunakan untuk menyebut tentara bayaran lepas abad pertengahan, digambarkan sebagai free-lance atau “tombak bebas”, tombak yang tidak terikat dalam melayani satu majikan. Freelancer seringkali tidak dihitung upahnya berdasarkan jam/hari kerja, tapi berdasarkan output target, dibayar setelah order dipenuhi.
Meski ini memberi ilusi kebebasan, bekerja lepas seperti ini juga memiliki banyak resiko seperti tidak adanya jaminan kesehatan, pemasukan tetap, alat produksi seperti komputer, HP, internet, listrik, kendaraan, dsb yang harus disediakan, dirawat, dan dibayar sendiri, dan tidak dimasukkan dalam komponen beban operasional kantor oleh pemberi kerja. Dengan kata lain: pekerja menanggung sendiri berbagai resiko kesehatan, berbagai resiko kerusakan alat produksi.
Beberapa kondisi rentan yang dipetakan SINDIKASI sering dialami freelancer antara lain:
- tidak adanya kontrak kerja
- tidak adanya perlindungan sosial
- tidak adanya hak-hak normatif seperti upah ataupun jam kerja layak, tidak adanya jaminan kesehatan dan Ketenagakerjaan
- sulit untuk berserikat
- beban kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian
- menjadi korban pencurian ide dan hak kekayakaan intelektual
Jadi, jika kamu memutuskan ataupun terpaksa bekerja freelance, pastikan kamu menyadari berbagai resiko dan hak-hakmu, serta menghitung juga biaya-biaya beban operasional produksi yang harus kamu tanggung. Lihat bagian hak normatif.
Mitra
Saat ini ada makin banyak pemberi kerja yang menyebut pekerjanya sebagai “mitra”, salah satunya misalnya berbagai ojek online yang menyebut sopir ojek sebagai “mitra” dan bukan pekerja. Meski terdengar lebih keren, menyematkan status mitra pada pekerja sebetulnya membuat pekerja kehilangan berbagai hak seperti gaji tetap, jaminan kesehatan keselamatan kerja, cuti dan sebagainya.
Dalam kemitraan, sebagai sama-sama pelaku usaha, ada penyusunan perjanjian dan strategi bersama, dan ada pembagian hasil dari keuntungan kerja sama. Sementara pekerja menjalankan pesanan dan mendapat bayaran setelah pekerjaan selesai. Pekerja tidak punya daya tawar yang sama untuk menegosiasikan sistem kerja.
Apakah kamu mitra, ataupun pekerja, apakah kamu sudah mendapatkan hak-hak yang sesuai? Atau kamu hanya disebut mitra tapi tidak mendapatkan hak kemitraan maupun pekerja? Silakan cek tabel di bawah.
Unsur | Pekerja (freelance) | Kemitraan |
---|---|---|
Para pihak | Satu pihak menerima order | Keduanya pelaku usaha |
Pembayaran | Dibayar setelah pekerjaan | Ada bagi hasil |
Jenis kerja | Menjalankan order | Membuat strategi bersama |
Diadaptasi dari Pedoman Kontrak Kerja Freelancer, SINDIKASI & LBH Pers, 2019, hal. 47.
Kerangka & perlindungan hukum
Ketentuan mengenai hubungan antara Pemberi Kerja dan pekerja beserta akibat hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003. Ada baiknya kamu mempelajari undang-undang tersebut agar kamu tahu apa saja hak-hakmu sebagai pekerja, dan apakah perjanjian kerjamu taat pada hukum yang berlaku.
Dalam UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa ada dua bentuk perjanjian kerja, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain itu, ada juga Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100 tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Di dalamnya dapat ditemukan aturan untuk pekerja harian lepas yang dapat digunakan untuk freelancer.
Namun di sisi lain, freelancer tak serta-merta dapat disamakan dengan pekerja harian lepas, karena kadang freelancer dibayar berdasarkan keluaran kerjanya, bukan berdasarkan hari kerja. Lebih jauh, simak Pedoman Kontrak Kerja Freelancer buatan SINDIKASI & LBH Pers (2019). Lebih bagus lagi, bergabung dalam serikat :)
Omnibus Law alias RUU Cilaka
Pernah dengar tentang Omnibus Law atau RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang ramai dibicarakan orang? Emang apa sih dampaknya pada kita? Simak infografik singkat ini dari katadata.
Baca lebih lanjut beberapa penjelasan mengenai bagaimana RUU Cilaka ini cilaka tidak hanya untuk pekerja, tapi juga lingkungan hidup:
- Andrea Lidwina, “Beda Omnibus Law dan UU Tenaga Kerja,” Katadata 18 Februari 2020.
- Alfian Putra Abdi, “Kontroversi Pasal 170 RUU Cilaka yang Menyalahi Konstitusi,” Tirto.id
- Fadiyah Alaidrus, “RUU Cilaka dan RUU Halu Dinilai Hapus Perlindungan Buruh Perempuan,” Tirto.ID 2 Maret 2020.
- Emma Primastiwi, “Tentang Nasib Buruh sampai Pekerja Kreatif dalam RUU Cipta Kerja,” Whiteboardjournal 2 Maret 2020.